Wednesday, March 25, 2015

(Tak) Bisa Mendua

Entah kenapa akhir-akhir ini aku terkenang masa-masa muda (sekarang juga masih muda kok) saat di bangku SMA. Setelah sebelumnya aku terkenang awal pertama hidayah datang untuk sadar bagaimana seharusnya jadi muslimah sejati (ada di tulisan yang bawah), dan di malam yang dingin ini setelah hujan reda dan angin malam yang menemani aku seorang diri untuk berbagi cerita dengan para pembaca.

Bismillah...
Hehehe judulnya tumben-tumbenan begini. Maklum suasana mendukung :D
InsyaAllah isinya pun juga begitu.
#DOR
#PadaMikirnyaApaNih

Jadi, dulu ada saudara seiman (perempuan) yang aku lihat lagi falling in love gitu sama Al-Qur'an. Kalau lagi seperti itu, rasanya aku mau support habis-habisan untuknya untuk mencapai nikmat iman, Islam, dan ukhuwah.  Duuhh kalau dibayangin 3 nikmat itu rasanya susah digambarkan. Hati bawaannya senang terus dan jauh-jauh deh pikiran negatif. Aku mau dia ngerasain juga. Kan surga itu terlalu luas untuk dimasuki sendiri bukan?
Aku sempat terfikir dan tergerak untuk langsung memberikan Al-Qur'an yang aku punya untuk dia. Biar pas itu juga dia baca Qur'an di dalam kamarnya selepas shalat maghrib dan tenggelam dalam ayat-ayat cinta.
Tapi, hati aku berat rasanya untuk memberikan Al-Qur'an yanga ada di genggaman tanganku. Ada sesuatu yang mencegahnya T.T
Bukan karena Al-Qur'an yang aku punya itu tampaknya sudah buruk, lecek-lecek, dan ga layak diberikan sebagai hadiah, tapi ada alasan lain yang sangat berat untuk melakukannya.
Ketika itu aku seperti memasuki lorong waktu di tahun 2009 pas masih zaman SMA kelas 2.
(zaman masih muda)

SMA aku dulu mewajibkan untuk tadarus Al-Qur'an setiap hari Jum'at pagi sebelum memulai pelajaran. Yup, wajib untuk seluruh kelas, bagi yang non-Islam bisa memilih untuk di dalam kelas atau ke ruang kelas lain yang kosong.
Hahaha... saat itu aku berebut mengambil Al-Qur'an yang ada di lemari kelas, dan pastinya jumlahnya terbatas. Kadang dapat, kadang enggak.
Kalo ga dapat, yaaa jadinya minjem ke teman sebelah, jadi bacanya 1 Al-Qur'an berdua. Duduknya mah perempuan sama perempuan. Kesel juga sering ga kedapetan Al-Qur'an. Mau bawa dari rumah, adanya yang ukuran gede. Berat jadinya.
Akhirnya kalo gini terus (sering ga kedapetan) aku putuskan untuk punya Al-Qur'an sendiri.

Ketika lagi pergi bareng-bareng sama keluarga ke toko buku, aku pergi ke rak-rak yang khusus nyediain Al-Qur'an. Terus aku pilih yang lucu sampulnya dan enak hurufnya untuk dibaca.
Akhirnya aku pilih yang sampul kulit warna pink-ungu dengan kancing magnet, walau sebenarnya aku suka warna biru (ga ada pas itu warna birunya). Harganya juga cukup mahal.
Pas aku bilang ke mama mau minta dibeliin Al-Qur'an itu, mama nanya 1 pertanyaan yang berat.

"Emang bakal dibaca terus tuh Al-Qur'annya?" mama nanya dengan nada serius.
#jleeebbb
#BerfikirLama
#BaruSadarIyaJugaYaaaa
#KenapaBaruKefikiranSekarang
Terus aku meng"azam (tekad)"kan dalam diri : InsyaAllah Al-Qur'an ini menjadi Al-Qur'an pertamaku dan akan selalu aku baca.
"InsyaAllah ma" jawab dengan singkat.

Taraaa dengan hati riang gembira aku menanti-nanti hari Jum'at. Pas tiba harinya aku tenggelam dalam tadarus Al-Qur'an di SMA.

Dari lorong waktu itu, cerita tersebut adalah alasan kenapa hati aku berat memberikan Al-Qur'an aku kepada orang lain, walaupun sebenarnya bisa saja aku membeli Al-Qur'an yang lain yang lebih bagus dan cantik. Ya kan?
Karena azzam 6 tahun yang lalu, sampai saat ini aku tak bisa menduakannya.

Al-Qur'an ku, engakaulah kelak yang akan menjadi penerang kuburku.
Di akhirat nanti akan kujumpai engkau dalam bentuk yang seindah-indahnya.

Jakarta, 25 Maret 2015
-dengan beberapa tetes air mata-

Saturday, March 14, 2015

Tulisan di pojok ruangan

Malam ini saya diminta untuk menuliskan sebuah pesan untuk temannya teman saya yang baru menutup aurat (pakai kerudung). Kebetulan dia mau menghadiahkan kerudung yang saya produksi untuk temannya. Terus bingung lah mencari kata-kata yang tepat.
Akhirnya saya ubek-ubek google, mulai dari web dan gambar yang muncul setelah diketik keywordnya.
Daann pada web kesekian yang saya buka, muncullah kata-kata yang "pas" untuk muslimah yang baru hijrah. Kalimat yang tertera di webnya juga membawa saya pergi ke tahun 2009 silam, saat saya masih kelas 2 SMA.
Kenangan itu memang indah ^^

Saat jam istirahat sekitar jam 12.15 dan kebetulan adzan zuhur sudah berkumandang, perempuan remaja itu dengan seorang diri pergi ke mushala sekolah di pojok gedung.
Ia seorang diri bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya atau pergi shalat bareng, tapi karena ia terlalu asik dengan aktivitasnya di kelas saat jam istirahat, yaitu makan. Teman-teman yang lain sudah pergi sejak awal ke mushala dan menunda untuk mengisi perutnya, tetapi perempuan ini tidak.
Setelah mengambil wudhu, masih dengan muka yang basah, ia mengancingi lengan baju seragam sekolah, becermin untuk membetulkan sehelai jilbabnya, dan mencari-cari mukena di lemari kayu yang cukup besar menurutnya saat itu.
Ini sudah satu bulan ia hijrah untuk memakai jilbab saat kelas dua semester dua. Biasa saja pikirnya kala itu. Hanya berubah penampilan saja.
Dekat lemari mukena, ia menangkap sebuah kertas putih dengan laminating yang tertempel di dinding. Ia membacanya sejenak. Judulnya "Akhwat Sejati".
"apa itu akhwat?" tanyanya ke diri sendiri.
"ooohh kata 'akhwat' yang suka nempel-nempel di dinding tempat wudhu. Berarti artinya perempuan." sejurus kemudian ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Ia mulai membaca perlahan tulisan warna warni tersebut. Memang menarik mata :)

Begini tulisannya :

Seorang gadis kecil bertanya pada ayahnya, “Abi ceritakan padaku tentang akhwat sejati?”
Sang ayah pun menoleh sambil kemudian tersenyum.

Anakku…
- Seorang akhwat sejati bukanlah dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada di baliknya. Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya.
- Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu banyaknya kebaikan yang ia berikan tetapi dari, keikhlasan ia memberikan kebaikan itu.
- Akhwat sejati bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.
- Akhwat sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara.
Sang ayah diam sejenak sembari melihat ke arah putrinya.“Lantas apa lagi Abi?” sahut putrinya.
Ketahuilah putriku…
- Akhwat sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya.

- Akhwat sejati bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan, tetapi dilihat dari kekhawatiran dirinyalah yang mengundang orang jadi tergoda.
- Akhwat sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa syukur.

Dan ingatlah…

-Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauhmana ia bisa menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul.

Setelah itu sang anak kembali bertanya,
“Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu, Abi?” Sang ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, “Pelajarilah mereka!” 
Sang anakpun mengambil buku itu dan terlihatlah sebuah tulisan “Istri Rasulullah”. 

Setelah membaca tulisan tersebut, ia menjadi instropeksi dan bertanya kepada diri "beginikah seharusnya seorang muslimah?".
Kemudian ia lanjut untuk shalat zuhur dan di hari-hari selanjutnya, tulisan di pojok ruangan tersebut menjadi tempat favoritenya untuk membaca dan memahami setiap kata yang tertulis di kertas laminating itu.
Tidak hanya sampai di sana saja, ia pulang ke rumah dan mencari tulisan lain di link yang tertera di kertas favoritenya. Kemudian ia menyebarkannya di blog maupun di facebook (saat itu masih "asing" medsos facebook).
Semenjak pertemuannya dengan kertas tersebut, ia mendapatkan hidayah.
Perempuan remaja itu adalah saya :)

*terima kasih kakak-kakak ROHIS SMAN 12 JAKARTA yang sudah membuat dan menempelkannya di dinding mushala perempuan (siapapun itu pelakunya ^^) "

Psstt... kelas 3 SMA saya sudah mulai panjang jilbabnya dan berlapis dua. Alhamdulillah nyaman banget.
Jadi, salah untuk teman-teman yang mengira saya sudah memakai kerudung panjang sejak dari SMP atau awal SMA ^^

Hidayah itu harus dicari ya, bukan ditunggu.