Monday, July 18, 2016

Friendship : Jepang-Indonesia (1)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui" (QS Ar-Rum : 22).

Semua cerita bermulai saat aku masih duduk di bangku SMA kelas 2 semester 2 (bertepatan saat aku memulai hijrah juga untuk menutup aurat).

Bismillah...
Perkenalan dengan otousan dimulai ketika aku tertarik banget sama Jepang-jepangan. Saat di SMA, mulai dari kelas 1 sudah diminta untuk memilih ekstrakulikuler. Ada banyak pilihannya, tapi karena aku memang suka dengan bahasa, aku memilih ekskul Bahasa Jepang. Waktu yang diberikan sekolah untuk ekskul adalah 2 tahun dimana di tahun ke-3 dipakai untuk jadwal-jadwal tambahan sekolah untuk menopang latihan UN. Kalau bahasa tambahan yang ada di SMA 12 Jakarta yaitu bahasa Jerman dan Inggris.
Ga pusing tuh belajar 3 bahasa saat SMA? Inggris, Jepang, dan Jerman?
I said : "BIG NO. Es macht Spaß. Tanoshii dayo"
Awal mulanya terinspirasi dari Ir. Soekarno yang dapat menguasai 5 bahasa asing dimana saat berpidato, di tiap paragrafnya beliau menggunakan bahasa yang berbeda-beda tanpa teks (*.*)
Kelas bahasa Jepang dibuka setiap Sabtu pagi mulai dari jam 08.00-10.00 (berasa cuma sebentar).
Lalu dulu lagi booming-booming-nya aplikasi chatting Nimbuzz.

Let me tell you how I met otousan and still counting...

Di chatting nimbuzz, aku ikutan group chat yang isinya orang-orang yang sama-sama suka Jepang. Maksudnya mau sekalian aplikasiin ilmu ekskul jepang yang sudah didapat untuk dipakai sehari-hari. Jadilah bahasa mengobrolnya di group itu memakai bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang. Seru deh!
Lalu ada seorang teman dengan id (kalo ga salah) @louis_vico yang chat personal ke aku. Menanyakan "suka banget sama Jepang ya? Bisa bahasa Jepang juga?" and I said "BIG YES".
Dia bertanya kembali "mau dikenalin sama orang Jepang asli ga? Enak tuh ngobrol langsung" and I said "eerrrr,, oke".
Setelah itu, aku dikenalkan dengan orang Jepang, dipanggilnya otousan (bapak). Chatting dengan otousan aku lakukan di yahoo messanger. Selalu excited ketika melihat YM otousan menyala. Kalau tidak otusan yang menyapa duluan, pasti aku yang menyapanya duluan. Aku niatkan hanya untuk improvisasi bahasa Jepang yang sedang aku pelajari di sekolah. Ketika ada kosakata baru, yaa aku catat, dan kalau ada kalimat yang tidak aku mengerti artinya, aku tanyakan ke sensei (guru) saat ekskul. Jadilah ketika kelas ekskul telah selesai, aku murid terakhir yang keluar kelas karena mau konsul dengan sensei. Kegiatan chatting sama otousan ga hanya sekedar ngobrol aja, tetapi bertukaran foto. Otousan mengirimkan foto keluarganya. Waaaww semakin menyenangkan pelajaran bahasa jepang :D
Selanjutnya...
Otousan ingin mengirimkan sebuah surat, uang yen, dan banyak foto-foto keluarganya. Di suratnya tertulis uang yen untuk mengirimkan kembali surat balasan ke Jepang. Widiiiwww :O
Aku ceritakan ke orang tua tentang perkenalan aku dengan otousan. Tau apa reaksi mama papa?
"Itu ga bahaya kenalan sampai segitunya? Kan kita ga kenal sama otousan" kata mama.
Memang ada sedikit kekhawatiran seperti yang mama katakan, tapi itu cuma sedikiiitt, selebihnya berisi rasa nyaman dan percaya sama otousan.
Akhirnya dilanjutkan lagi pertemanan beda negara ini. Toh alhamdulillah membantu aku untuk terlatih berbahasa Jepang.

(surat pertama dari Jepang, 2009)

Aku kasih unjuk surat beserta isinya ke orang tua agar lebih percaya kalau otousan ini memang baik dan bersahabat :) Akhirnya mama papa percaya. Hehehe...
Saat itu aku ceritakan juga perkenalan dengan otousan ke kakek aku, dan beliau senang sekali mendengarnya. Unfortunately, kakek aku meninggal beberapa bulan setelah surat itu sampai di rumah.
Kalo kata mama : "dila dapat kakek angkat dari Jepang ya?".

(pertemuan pertama, 2010)

Saat itu, okaasan mengajari kami tradisi cara membuat ocha. Baru tau kalo ada langkah-langkahnya =.="
(Kiki, otousan, okaasan di daerah pondok bambu)

Setelah pertemuan itu, obrolan kami semakin sering dan seru, hingga setiap kali otousan berkunjung ke Indonesia, otousan selalu mengabari aku untuk bisa bertemu. Di tahun 2011, otousan mengabari ingin main ke rumah aku. Waduuhhh... harus berbenah dan merapihkan rumah ini mah. Kedatangan tamu orang Jepang. Semua keluarga aku speechless...
Kali ini otousan datang berdua sama mas Luthfi (orang Indonesia yang kerja di Jepang dan udah kenal lama sama otousan). Selama pertemuan, kami berbincang-bincang ria dan masih banyak dibantu bahasa Jepangnya sama mas Luthfi. Da aku mah cuma bisa bahasa Jepang yang ala kadarnya. Belum bisa casciscus...
(pertemuan kedua, 2011)

Oleh-oleh curry nggak aku makan karena setelah di konfirm ke teman yang jago bahasa Jepang, ada kandungan babi nya di kuahnya. Yaaahh, zannen desu ne...
Paling suka sabun yang dari susu sapi. Enak banget wanginya :D
(dibawain oleh-oleh dari Jepang)

Dan otousan kian ketagihan untuk datang kembali ke Indonesia. Pertemuan yang ke-3 kali ini, otousan membawa serta temannya. Namanya Kawano.
I feel sooo excited \(^.^)/
Puruzento arigatou ne... Otousan wa ii desu yo...
Oh iya kalo ga salah, untuk bertemu dengan otousan yang kali ini penuh perjuangan karena otousan kasih kabar mendadak mau main lagi ke rumah. Aku kuliah di Jatinangor (Sumedang) dan langsung chaw ke Jakarta setelah mengikuti 1 mata kuliah aja di pagi hari (08.00-09.45). Bolos beberapa mata kuliah.
(pertemuan ketiga, 2012)

Otousan sungguuuhhh perhatian. Untuk menunjang belajar bahasa Jepang aku, otousan memberi hadiah kamus translate digital Inggris-Jepang. Hounto ni arigatou (T.T)
(arigatou)

Dan pertemuan-pun masih berlanjut sampai aku sudah di ujung masa-masa perkuliahan. Sedih juga sebenarnya ketika sudah tidak punya waktu yang cukup untuk melanjutkan belajar Nihongo (bahasa Jepang).
(pertemuan keempat, lupa tahun)

Ada satu pertemuan lagi dengan otousan di Bandung. Kali itu aku pergi sama abang sepupu untuk bertemu sama otousan.

Daaannnn baru saja kemarin (17/7/2016) jam 18.08 otusan tiba-tiba me-video call ke line aku.
What a surprised !!!
"angkat...nggak...angkat...nggak..." galau.
Akhirnya sebelum aku angkat, aku langsung menyambar mukena dan memakainya.
"Mati gue, ngomong apa ini" gerutu dalam hati.
Bahasa Jepang yang dulu aku pelajari semenjak SMA belum berkembang, jadi lagi..lagi.. ngobrol sama otousan, okaasan, dan yua chan (cucuk otousan) memakai bahasa Jepang yang ala kadarnya. Banyak yang diobrolin, tapi terkendala improvisasi bahasa.

Ayoooo Diiiilllll belajar lagi bahasa Jepang. Ganbatte. Take your time, buddy.

(video call mendadak Indo-Jpn)

Jya, 11gatsu matane :)

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Al-Huujurat : 13).

Sunday, July 17, 2016

Kalau Mau Anak Hebat, Orang Tua Harus Berubah by Rhenald Kasali

Saya sebenarnya sangat tertarik pada cerita dosen Unair yang sayang saya tak tahu namanya. Di beberapa WhatsApp saya baca rekaman momen yang dia catat saat menerima seorang siswa SLB yang mencari alamat. Dari Jogja, anak SLB itu ditugaskan gurunya mencari alamat di Surabaya.

Itulah penentuan kelulusannya. Dosen tadi merekam momen itu yang menyebabkan kebahagiaan si siswa. Sewaktu didalami, pak dosen mencatat, anak itu tak boleh diantar, tak boleh pakai taksi atau becak. Harus cari sendiri walau boleh bertanya. Ya, seorang diri.


Saya pikir di situ ada tiga orang hebat. Pertama adalah gurunya yang punya ide dan berani ambil risiko. Bayangkan, ini siswa SLB dan kalau dia hilang, habislah karir pak/bu guru itu. Apalagi kalau dia anak pejabat atau orang berduit. Kata orang Jakarta, ’’bisa mampus’’. Saya sendiri yang menugaskan mahasiswa satu orang satu negara pernah mengalami hal tersebut.

Kedua, orang tua yang rela melepas anaknya belajar dari alam. Ya, belajar itu berarti menghadapi realitas, bertemu dengan aneka kesulitan, mengambil keputusan, dan berhitung soal hidup, bukan matematika imajiner. Belajar itu bukan cuma memindahkan isi buku ke kertas, melainkan menguji kebenaran dan menghadapi aneka ketidakpastian.

Orang tua yang berani melepas anak-anaknya dan tidak mengganggu proses alam mengajak anak-anaknya bermain adalah orang tua yang hebat. Memercayai kehebatan anak merupakan awal kehebatan itu sendiri.

Ketiga, tentu saja si anak yang bergairah mengeksplorasi dan ’’membaca’’ alam. Anak-anak yang hebat adalah anak-anak yang berani keluar dari cangkangnya. Keluar dari rahim, dari selimut rasa nyaman, tidak lagi dibedong, digendong, atau dituntun. Berjalan di atas kaki dan memakai otaknya sendiri.

Otak Orang Tua

Tetapi, yang terjadi selanjutnya adalah sebuah tragedi. Semakin kaya dan berkuasa, orang tua semakin ’’menguasai’’ anak-anaknya. Pasangan diatur dan dipilih orang tua, jurusan dan mata kuliah, bahkan siapa dosennya, lalu juga di mana bekerja. Ini sungguh sebuah kelas menengah yang sudah kelewatan.

Bahkan, begitu bekerja, kita menemukan sosok-sosok yang, maaf, ’’agak bodoh’’. Katanya lulusan universitas terkenal, IPK tinggi, tetapi sama sekali tidak bisa mengambil keputusan. Dan di antara teman-temannya, mereka dikenal sebagai sosok yang tidak asyik, sulit ’’linkage’’ atau mingle dengan yang lain.

Setelah tinggal di mes, teman-temannya baru tahu. Ternyata, beberapa hari sekali ’’mami’’-nya menelepon dan nangis-nangis karena merasa kehilangan. Nasihat ’’mami’’ banyak sekali dan si anak terlihat takut. Disuruh nego soal gaji, dia pun nego, padahal kerja baru seminggu dan belum menunjukkan prestasi apa-apa. Begitu disuruh mami pulang, pulanglah dia tanpa izin dari kantor.

Anak saya sendiri sejak SMP sudah dididik mandiri. Maka saat di SMA, dia sudah tidak sulit mengambil keputusan. Bahkan saat kuliah di negeri seberang, dengan cepat dia bisa memilih tempat tinggalnya. Sedangkan anak seorang pegusaha butuh dua bulan. Waktu saya tanya mengapa, dia jelaskan bahwa setiap kali anaknya dapat rumah, ibunya menganulir.

Saya bayangkan betapa rumitnya pesta pernikahan anak-anak yang orang tuanya seperti itu. Tanpa disadari, mereka membuat otak anak-anaknya kosong, terbelenggu, tak terlatih. Semua itu adalah otak orang tua, bukan otak anaknya.

Namun, ketika kolom tentang dagelan orang tua saya tulis beberapa hari lalu itu beredar luas lewat media sosial, saya punya kesempatan untuk ’’membaca’’.

Mayoritas pembaca tertampar ketika dikatakan bahwa anak-anaknya hebat, tetapi telah merusaknya dengan memberikan pengawalan ’’superekstra’’. Namun, saya juga menemui orang tua yang bebal, yang mengancam saya harus diperiksa KPAI karena mereka menganggap anaknya yang sudah mahasiswa masih ’’di bawah umur’’.

Bahkan, ketika saya katakan, ’’Jangan Latih Anak-Anak Dijemput KBRI’’, mereka protes dengan dalih KBRI itu dibiayai negara, untuk melindungi anak-anak mereka. Ada juga yang sangat takut anaknya kesasar, jadi korban perdagangan manusia, diperkosa, dan seterusnya.

Terus terang, mereka itulah yang seharusnya berubah. Takut berlebihan bisa membuat anak-anak ’’lumpuh’’ dan bermental penumpang. Anak-anak itu merasa akan selalu pintar kalau di sekolah juara kelas. Padahal, pintar di sekolah tidak berarti pintar dalam hidup.

Kalau memang lokasi kunjungannya berbahaya, tentu bisa dipelajari. Anak-anak kita, khususnya mahasiswa (bahkan kelas 2–3 SMA), bisa diajak membaca lingkungan. Orang tua bisa memberikan advis, bukan mengambil keputusan.

Tetapi, harus saya katakan, melatih anak-anak berpikir dan mengambil keputusan sedari muda amatlah penting. Sepenting membangun pertahanan dan keamanan negara, kita butuh penerus yang cerdas dalam menghadapi kesulitan dan ketidakpastian. Sebab, itulah situasi yang dihadapi anak kita kelak pada abad ke-21 ini.

Saya juga dapat pesan dari guru besar perempuan UI yang disegani dan dari bupati Trenggalek. Dari guru besar UI, saya mendapat cerita bagaimana pada usia SMP dia sudah ditugaskan ayahnya menyusul sendiri ke Padang. Di sana, ayahnya yang tentara mendapat tugas baru. Dia pun harus mencari sekolah sendiri dan mendaftar sendiri.

Lalu, ketika setahun tinggal di sana, ayahnya ditugaskan panglima untuk tugas belajar ke Amerika Serikat. Tinggallah si anak harus merajut hidup dengan bekal seadanya di kota yang belum dia kenal. Tetapi, hasilnya, dia menjadi pemikir yang dikenal kaya dengan empati, bukan tipe manusia berwacana.

Sementara itu, dari Bupati Trenggalek Emil Dardak, saya mendapat proof bahwa apa yang dididik orang tua pada masa kecilnya amat bermanfaat untuk mengantarnya ke tugas hari ini. Ayahnya, Hermanto Dardak, mantan wakil menteri PU, sering mengajak Emil ke luar negeri kalau ada undangan seminar. Sesampai di kota itu, Emil ditugaskan jalan-jalan sendiri mengenal kota.

Emil menulis melalui WA ke saya, ’’Saya beruntung punya orang tua yang kuat jantung dan beri kesempatan untuk membangun masa depan yang saya mampu jalani, meski berisiko.’’ Anda tahu, bupati muda ini meraih gelar doktor dari Jepang pada usia 22 tahun.

Perjalanan hari ini membentuk anak-anak kita pada hari esok. Saya harap orang tua kelas menengah siap berubah. Janganlah khawatir berlebihan. Berikanlah kepercayaan dan tantangan agar mereka sukses seperti Anda. Sebab, rumput sekalipun, kalau tak tembus matahari, akan berubah menjadi tanah yang gundul.

Visualisasikan Mimpi

"Jika kamu mempunyai mimpi, visualisasikanlah. Jangan biarkan ia tertidur dalam angan-angan semata" -Dila

Dulu, aku masih mahasiswa S1 di tahun 2014. Aku mempunyai agenda rutin setiap minggu pagi di Salman ITB. Aku kuliah di UNPAD Jatinangor. Sudah biasa anak-anak Jatinangor mondar-mandir ke Bandung dengan menggunakan  bis damri yang lama perjalanannya +/- 1 jam. Berangkat sendiri, pulangpun sendiri (kasian). Suatu hari, sebelum agenda dimulai (ceritanya datang agak kecepatan), aku iseng-iseng untuk berjalan-jalan sendiri di sekitar salman dan menemukan sebuah toko yang menjual makanan dan minuman ringan sejenis koperasi gitu nampaknya. Aku memutuskan untuk membeli beberapa cemilan untuk mengisi perut di pagi hari dan saat ingin membayar di meja kasir, mata ini menangkap sebuah benda lucu yang berjejer rapih. Ada gantungan kulkas, pin, gantungan kunci, dll yang serba ITB. Kebetulan masih ada cukup sisa uang untuk membeli salah satu pernak-pernik yang ada.
(iseng-iseng beli)

"Iiiihhhh lucuuuu... Mau deh beli satu. Tapi untuk apa? Kan aku kuliah di UNPAD, bukan di ITB. Asa mubadzir nanti. Beli ga ya?" galau tapi si tangan sibuk memilah-milah pernak-pernik.
"Beli aja aaaahhh, kali aja nanti bisa beneran kuliah di sini atau dapat suami dari ITB. Huehehehe..." kesimpulan akhirku yang entah darimana tiba-tiba muncul.
Aku memutuskan untuk membeli gantungan kunci ITB.

Seiring waktu berlalu, aku biarkan saja gantungan kunci tersebut menempel di tas kuliah, kadang sesekali menempel di tas imut yang biasa aku pakai untuk agenda rapat-rapat kampus. Ia telah menemani hariku dalam aktivitas yang lumayan padat.
Hingga...
Suatu malam di tanggal 17 Juli 2016, aku sedang duduk di kursi belajar kamar lantai atas dan sejenak memandangi gantungan kunci kamar ITB yang tergeletak di atas meja belajar. Gantungan kunci itu membuatku merasa bernostalgia kembali pada niat yang pernah aku "niatkan" atau lebih tepatnya terlintas iseng-iseng di tahun 2014 akhir lalu.
Dan aku baru menyadari bahwa di awal tahun 2017 mendatang, aku akan masuk kuliah magister di ITB (magister survivor). Seharusnya sudah masuk kuliah di tahun ini pada bulan Agustus akhir, tetapi aku memilih untuk ambil postpone sejenak karena suatu alasan :)

"Mimpi itu akan lebih kuat hadirnya jika di-visualisasi-kan" -Dila

(ini adalah mimpi kesekian kali yang aku visualisasikan semenjak duduk di bangku kuliah semester 2).
Contoh bentuk visualisasinya :
1. Ada yang berbentuk tulisan di atas kertas yang menempel di dinding kosan
2. Membeli barang-barang yang menunjang mimpi
3. Mencetak foto-foto pemandangan atau sebuah tempat, dan menempelkannya di dinding agar selalu terlihat oleh mata)
4. Menempelkan sebuah atlas dunia di dinding kamar dan tambahkan tempelan targetan tahun di sticky notes di negara yang ingin didatangi. Contohnya : Negara ini mau aku kunjungi di bulan sekian dan tahun sekian

Oh ya mimpinya harus juga ditunjang dengan ikhtiar dan do'a ya ^^

Tuesday, July 12, 2016

Hijrah. Mau?

Bismillah...
Writing this note is as my reminder :)

Menanti dalam ruang tunggu itu berat!
Kalau tidak kuat iman akan dapat terjerumus dalam kegiatan yang sia-sia seperti pacaran dimana laki-laki dan perempuan saling melampiaskan efek hormonal yang sedang terjadi di masanya. Betul kan? Rasa suka, rasa ingin diperhatikan lebih, dan segala rasa ketertarikan dengan lawan jenis yang muncul akan membuat sang perempuan maupun laki-laki ingin memberikan semua yang terbaik yang ada pada diri mereka masing-masing kepada pasangan.
Dan, aku lebih memilih bersabar dalam taat karena aku ingin mendapatkan ridha-Nya...
Caranya ?
1. Perbaiki niat
"Sesungguhnya segala amalan tergantung pada niatnya. Dan bagi tiap orang terdapat balasan sesuai yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya hanya pada apa yang ia niatkan hijrah padanya" (HR Al Bukhari dan Muslim).

2. Miliki teman yang shalih dan shalihah
"Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakan yang menjadi teman dekatnya" (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927).
Jadi aku setuju kalau kita berteman harus pilih-pilih (pilihlah yang baik tentunya).

3. Perbanyak menimba ilmu agama
"Ilmu tidak dapat diraih dengan mengistirahatkan badan (bermalas-malasan) (HR Muslim).
Semoga dengan banyak menimba ilmu dari kajian-kajian maupun membaca buku yang bermanfaat akan menjadi salah satu sebab datangnya hidayah kepadamu. Jangan lupa meminta hidayah kepada Allah.
Dalam hadits Qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian” (HR Muslim).

4. Melakukan amalan-amalan sunnah
Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR Bukhari).

5. Sadar diri
Banyak perempuan yang tidak sadar akan betapa berharga dirinya sehingga banyak sekali hadir perempuan-perempuan yang kelakuannya sudah terlewat batas. Yuk, tetap berusaha menjadi wanita shalihah untuk ayah, suami, dan anak-anakmu kelak :)


6. Berusaha menjadi 4 hal
Banyak muncul di media sosial quote berupa kartun yang mengatakan : "mengapa sibuk mencari (jodoh)? kenapa tidak sibuk menjadi (pasangan yang banyak dicari oleh orang shaleh)?"
Menjadi apa maksudnya?
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung" (HR Bukhari).


"Al-ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq“
Artinya ; Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.