Monday, January 16, 2017

Cerita dalam cita-cita

Siapakah yang tak ingin bila setiap mimpi dan harapannya didoakan agar terwujud dan terpenuhi?
Disuguhi kalimat-kalimat dorongan penuh semangat hingga bahkan tawaran bantuan agar cita-cita itu tak hanya sekedar impian.
Tentu tiada hati yang menolak untuk dipayungi keteduhan dalam mengarungi masa-masa terik perjuangan.
Langkah kaki biar kecil, biar tak melulu diajak berlari namun setidaknya mampu bertahan menjejaki petualangan yang kadang seakan tak tampak dimana ujungnya.
Godaan untuk berhenti sama sekali, rayuan yang berbisik-bisik agar mengubah haluan seringkali datang sekehendaknya.
Saat kita tegar, ia hanya serupa angin lalu yang bertiup sesekali.
Namun, dalam masa-masa kritis, tiba-tiba hadirnya begitu sulit untuk diabaikan.
Mendadak ia menjadi penting.
Mengganggu bangunan mimpi yang telah lama kita rancang sebelumnya, tapi selalu saja ada nilai dibalik itu.
Bukan tujuan yang semata-mata berharga, melainkan juga perjalanannya.
Tebing yang terjal membuat lengan kita jauh lebih kuat.
Melahirkan sepasang mata yang cerdik dalam memilih pegangan, serta langkah yang penuh kehati-hatian, namun berani mengambil keputusan.
Dalam berlayar menggapai impian, tak selamanya kita akan berkawan dukungan.
Tatapan sinis meremehkan.
Kata-kata pedas merendahkan, atau gelak tawa mencemooh adalah gelombang besar dalam lautan cita-cita kita.
Dia pasti datang.

Namun coba saksikan.
Seorang laki-laki yang membangun bahtera itu.
Bahtera yang demikian besar itu ia bangun dengan penuh cinta dan ketekunan.
Kerja yang berselimut kesabaran, sabar dalam menitinya hingga rampung dan sempurna, juga sabar menjadi bahan ejekan dan tertawaan.
Tapi ia tetap bekerja.
Bahtera itu adalah juga bagian dari masa depannya.
Masa yang belum tiba.
Masa yang belum datang berkunjung, hingga saat itu betul-betul hadir, nyata, segala upaya dan kerja kerasnya tak sia-sia.
Di sinilah kita belajar tentang ketekunan dan kesabaran.
Belajar untuk meresapi kesadaran bahwa mimpi-mimpi kita, harapan-harapan kita tak hanya menjanjikan wajah penuh senyum, serta dada yang lapang berbunga-bunga.

Biar saja, biar saja salju yang penuh pesona itu hadirnya ditemani dingin yang membekukan.
Dan biar saja, cita-cita kita sempurna menjadi nyata dengan membawa ceritanya :)


by : dokterfina

Friday, January 13, 2017

Aku, kamu, dan diary biru

Cerita ini bermula di tahun 2012.

Siang itu, aku yang masih menimba ilmu di bangku kuliah semester 5 pergi ke sebuah stationary yang cukup tenar di kalangan mahasiswa unpad Jatinangor. Niat datang ke sana hanya untuk membeli beberapa alat tulis. Saat mengantri di kasir, seperti biasanya aku terlebih dahulu melihat agenda-agenda yang terpajang di rak.
"Ingat yaaa cuma liat-liat aja, ga usah dibeli kalau ga butuh-butuh banget" aku menasihati diriku sendiri.
"Iya cuma liat-liat aja kok. Eh tapi kok buku biru ini eye catching ya? Coba aahh buka-buka tampilan isinya. Kalo enakeun, kayaknya mau beli. Covernya unik, warnanya biru muda yang cantik, dan harganya ga mahal-mahal teuing" aku me-lobby diriku sendiri.
"Heeii jangaann dibuka-buka, nanti khilaf loh pada akhirnya :p " si hati nurani berbicara lagi.
Ternyata sesampainya di kasir akhirnya belanjaanku bertambah (dengan sendirinya). Ga sadar si buku catatan biru itu sudah masuk ke dalam kantung belanjaan, dan kini kakiku melangkah pulang menuju kosan.
"Dasar perempuan..." batinku.


Saat tiba di kamar kosan, aku merebahkan diri di kursi belajar, membuka kantung belanjaan tadi, dan mengeluarkan semua isi belanjaan.
"Terbeli juga si buku biru ini. Enaknya digunain untuk apa ya?" begitulah perempuan kalau membeli barang tanpa sengaja.
"Aha! Buku ini dijadiin buku diary sepertinya asik juga. Eehh jangan diary istilahnya, kayak anak abg aja. Masa harus tulis : "dear diary..." , duh ga banget" aku berfikir keras.
"Gimana kalau buku ini digunain sebagai buku unek-unek? Lebih tepatnya untuk buku perantara antara aku dan "dia" yang berada di masa depan sana".

Baiklah, begini penjelasannya :
Aku menyebutnya sebagai buku perantara dengan seseorang yang masih ghaib di sana. Nama "dia" aja belum ada apalagi rupa fisiknya. Di sisi lain, aku-pun juga mempunyai kerinduan untuk segera berjumpa dengannya. Tapi bagaimana cara menyampaikannya?

Yaaa saat itu aku berfikir simple : "segala bahasa kerinduan aku tuliskan di dalam buku perantara ini termasuk unek-unek kehidupan. Bahasa yang kugunakan adalah bahasa obrolan seolah-olah aku memang sedang bercerita banyak dengan si "dia". Aku memanggilnya dengan nama "Bi...".

Oh ya sesekali aku ajukan pertanyaan untuk dijawab nanti olehnya.

Suatu hari kelak, jika Allah sudah mempertemukan & mempersatukan dalam akad, akan aku kasih si buku biru kepadanya agar ia tahu sudah lama aku ingin bertemu dengannya & agar ia tau segala usahaku dalam menjaga diri. Yang aku rasakan saat itu adalah setidaknya rindu ini cukup terobati setiap kali aku selesai menulis di setiap lembarnya.

2017
Kini, aku berubah pikiran untuk tidak jadi memberikan si buku biru itu. Maluuuuu kalau bahasa alay bin ababil ini jika harus sampai dibaca olehnya 😂😂😂

Jakarta, 13 Januari 2017

Dan baru saja hari ini ia "yang sudah nyata di hadapan" memintaku untuk diberitahu dimana si buku biru itu aku simpan.
"Duuhh kenapa si mulut ini dengan ringannya menceritakan tentang si buku biru itu? Aahhh kan keceplosan!" aku memaki diriku sendiri.
Rasanya aku ingin menarik kembali ucapanku di kala siang itu, 3 hari yang lalu. 
Dan sebalnya, dia tetap saja meminta untuk diberi tahu, padahal aku berharap dia akan lupa seiring berjalannya hari.
Akhirnya aku memberikan clue dalam ucapan bahasa Inggris dimana letak buku biru tersebut sebelum aku naik travel menuju ke Bandung.


Bandung, 13 Januari 2017

Setelah sampai di kosan Bandung, aku meneloponnya.
Me = "gimana bi udah ketemu buku birunya?"
Him = "iya udah ketemu mi. Eh ada 1 lagi ya buku diary nya? Yang warna peach"
Me = "Diihh kok dapat aja bukunya? Padahal udah dikasih batas jarak anatara buki biru sama yang peach. Aaahhhh udahlah bi, cukup sampai nemuin buku-bukunya, jangan dibaca. Maluuuu sumpah!
Him = "Hahaha habisnya dari semua buku di rak buku, buku peach itu aneh. Jadinya coba dibuka & ternyata lanjutan tulisan yang dari buku biru itu ada di sana".
Me = "Aaahh sebel aahhh, padahal udah ditahan untuk nggak nyinggung sedikitpun tentang buku peach itu".
Him = "Hahahahaha...".

Poor me.... :(

--------------------------------------END--------------------------------------

Silahkan dicoba kalau mau ikutan buat buku perantara.
Asli, seru loohhh udah jauh-jauh hari menyiapkan sebuah hadiah sederhana untuk orang di masa depan :D

Monday, January 9, 2017

S2 dulu atau nikah dulu?

Semua manusia punya ingin, tapi terkadang "ingin" hanya sebatas ingin saja. Mereka lupa bahwa diperlukan ikhtiar untuk mebuat ingin menjadi wujud yang nyata. Transformasi ingin untuk menjadi nyata terkadang ada campur tangan Allah dan syaithan di dalamnya. Loh kenapa bisa?
Hmmmm mungkin lebih banyak godaan syaithan untuk menggoyahkan keyakinan dalam mewujudkan ingin. Syaithan akan istiqamah menggoda, waspada dan hati-hati !
Ingat, syaithan tidak suka manusia berada dalam keataatan kepada Rabbn-nya. Kembali ke topik tulisan : S2 atau nikah?
Ketika menulis ini, saya teringat sebuah iklan di tv yang mengangkat tema S2 atau nikah, dan di akhir iklan tersebut si wanita lebih memilih S2 dulu, setelah itu menikah.

"Jangan sampai dua kebaikan saling meniadakan" -Dila

Hmmm menurut pendapat pribadi saya, kesimpulan tersebut tidak tepat. Seharusnya wanita tersebut lebih memilih tawakal kepada Allah, bukan menarik kesimpulan dari pikirannya semata. Harus ada campur tangan-Nya karena Allah Yang Maha Tahu segala yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Pikiran manusia itu terbatas, sedangkan rencana Allah diluar batas ciptaan-Nya. Ya kan?
Jadi, S2 atau nikah dulu? 

"Selama kamu percaya dan yakin pada-Nya, hidupmu akan baik-baik saja" -Dila


Saya kala itu di sepanjang tahun 2016, tetap berdoa kepada Allah untuk dipilihkan pilihan yang terbaik. Mungkin jawaban dari Allah akan seperti ini :
1. S2 dulu
2. Nikah dulu
3. Keduanya sekaligus : S2 dan nikah
Sesekali saya meminta kepada-Nya kalau bisa Ia berikan pilihan yang no 3, dengan catataan saya menyandingkan doa agar dapat dimampukan menjalani keduanya : S2 dan nikah. Emang yakin bisa?
Yaaa saya pun tak tahu jawabannya, tapi saat itu saya yakin bahwa Allah akan memberikan amanah bagi hamba-Nya yang siap, untuk masalah mampu atau tidak, saya terus berdoa agar dapat dimampukan. Kalau ternyata Ia lebih memilih nikah atau S2 terlebih dahulu, saya sudah siap ikhlas terhadap pilihan-Nya.
Di pertengahan tahun 2016 Allah menjawab doa saya untuk melanjutkan kuliah, dan di penghujung 2016, Allah memberikan lagi jawaban atas pinta saya untuk menikah. Jaraknya begitu dekat yaitu 5 bulan semenjak perkenalan (ta'aruf) pertama. Setelah menikah, akan lahirlah ta'aruf-ta'aruf berikutnya.

"Menikah itu adalah proses ta'aruf sepanjang hayat" -Ust. Salim A Fillah


Dan kau hadir merubah segalanyaMenjadi lebih indahKau bawa cintaku setinggi angkasaMembuatku merasa sempurnaDan membuatku utuh tuk menjalani hidupBerdua denganmu selama-lamanyaKaulah yang terbaik untukku
"I believe that I received everything what I needed, not I wanted.Allah knows me better than myself"-Dila
Oh ya, tanggal 4, 5, dan 6 Januari 2017, saya pre-course MBA ITB di Cikole, Lembang. Suatu waktu, ada sesi perkenalan diri perkelompok. Saya dengan gembira mengumumkan bahwa saya sudah menikah, dan do you know what happened next?
Teman-teman sekelompok pada kaget. Langsung saja saya diwawancarai bak artis karena saya menikah dengan jalan ta'aruf-khitbah-akad :
1. Kapan nikahnya teh?
2. Kenal berapa lama?
3. Apa itu ta'aruf? Gimana prosesnya?
4. Kok cepat banget 5 bulan?
5. Tanda dia jodoh kita apa teh?
6. Dst
Tidak perlu waktu lama untuk membuat suasana seperti majelis ta'lim. Hahahaha.... Semuanya khusyuk mendengarkan cerita dengan sesekali diselingi pertanyaan-pertanyaan. Di akhir wawancara saya berpesan kepada teman-teman :

"Sesuatu yang baik (menikah), mulailah dengan cara yang baik pula" -Dila

Saya kira pembahasan tersebut hanya sampai di Cikole saja, tetapi kemarin (9 Januari 2017) saat menunggu acara pra-kuliah dimulai, teman yang ikut sesi diskusi di Cikole kemarin memberitahu kepada teman sebelahnya bahwa saya sudah menikah. Dan tak lama pula celetukan tersebut terdengar ke teman-teman sebelahnya, membuat yang lain ikut larut ke dalam pembicaraan. Ia nyeletuk seperti ini :
Teman : "Teh, aku tadi senang ngeliat teteh lagi pacaran sama suaminya".
Dila : "Laahh liat dimana? Kapan?"
Teman : "Tadi ngeliat di kantin salman lagi makan berdua, terus habis itu foto-foto di depan tulisan salman ITB sambil bercandaan"
Dila : "Eeeehhhh ooohhh hahahaha" *jadi malu (o^.^o)
Teman : "Kalo orang yang menikah karena pacaran mah aku ngeliatnya biasa-biasa aja, ga ada yang spesial. Tapi kalo ngeliat teteh tadi aku ngerasa senang gimanaaaa gitu. Beda hawanya"
Dila : "Hehe ya doonngg aku kan nikah anti-mainstream :D"
Teman : "Aku juga mau aahhh nikah kayak teteh"
Dila : "aamiin :) "

(foto-foto di depan salman)

"Keyakinanmu kepada-Nya akan menghilangkan berjuta ragu" -Dila

(jadi, sudah siap menikah tanpa pacaran?)

Selamat meluruskan niat, membumikan ikhtiar, dan melangitkan doa !

Saturday, January 7, 2017

Pulang Kampung 2016 : Rihlah ke Jepang (1)

Izinkan saya berbagi kisah lagi tentang kekuatan niat dan cita-cita. Tahun 2012 saat saya masih duduk di bangku kuliah semester 5, terbesit sebuah keingininan di dalam hati. Kadang sebuah keinginan harus cepat-cepat diubah bentuknya menjadi sebuah "niat".
"Yaa Allah, mau deh pergi ke Jepang gratis. Ga usah keluar doku (uang). InsyaAllah pasti nanti ada jalan. Aahhh tapi masa iya bisa? Gimana coba caranya bisa ke Jepang gratis? Hahaha jangan mimpi yang nggak-nggak lagi, Dila".
Terlebih lagi mama suka kewalahan mendengar mimpi-mimpi saya yang mau ini itu, rasanya tinggi sekali keinginan saya. Mungkin mama pernah sempat berfikir : dulu ngidam apa ya sampai punya anak kayak gini (keinginannya tinggi-tinggi semua)? Hahaha....
Dan bagi saya :

"Beranilah bermimpi besar karena kamu percaya bahwa Allah Maha Besar" -Dila

Ternyata memang benar Allah sesuai dengan prasangka hamba-hamba-Nya.
Bismillah, ini adalah sebuah kisah tentang The Power of Believer...

11 Februari 2016

Saat saya sedang berada di rumah jahit produk Syar'i's Cool, tiba-tiba ada message masuk ke hp dari kenalan orang Jepang sejak tahun 2009 (saya biasa memanggilnya otousan). Tahun 2009 masih awal-awal fb hadir, jadi dulu saya chattingan dengan otousan lewat yahoo messanger dan berlanjut hingga saat ini. Kisah perkenalan saya dengan otousan dapat klik di sini .

Inti dari message otousan yaitu beliau ingin mengajak saya untuk pergi ke Jepang (dibayarin oleh beliau). Langsung saya jadi ga fokus lagi di rumah jahit karena bahagia sekali membaca message fb dari otousan :D
Memang sudah lama otousan ngomporin saya untuk dapat mampir ke rumah beliau di Jepang, bahkan menawari untuk homestay di sana. Masih percaya ga percaya. Mimpi yang pernah tidak sengaja terbesit di tahun 2012, kini datang untuk segera direalisasikan. Alhamdulillah...
Tadinya mau coba pergi ke sana di akhir Februari untuk melihat bunga sakura bermekaran, tapi rasanya mepet sekali dan juga ingin dapat tiket promo pesawat yang murah. Terus otousan menyaraknan untuk coba datang ke sana di bulan November 2016 untuk melihat daun momiji. Akhirnya saya sering membuka air asia untuk ikhtiar mendapatkan tiket promo di bulan November 2016. Setelah mama tau saya mendapatkan tawaran dari otousan, mama mau ikut juga, dan begitu-pun adik yang perempuan mau ngekor juga. Jadilah kami pergi bertiga ke Jepang ala backpacker.
Pembuatan visa dilakukan H-1 bulan sebelum keberangkatan.

(visa Jepang)

Visa Jepang cepat kok jadinya : 3 hari. Pembayarannya (Rp 330.000/orang) dilakukan saat visa sudah jadi. Oh ya, fyi, karena adek perempuan saya masih mahasiswa, jadinya visa untuk dia gratis (ga usah bayar). Alhamdulillah...
Baiklah petualangan ala backpacker dimulai dari tanggal 19-26 November 2016...
Nikah tanggal 13 Nov'16, chaw ke Jepang 19 Nov'16, so sayounara micua (diajak ga mau ikut siihh). LDR-an 1 minggu dulu ya.

Perjalanan dari Indonesia-Jepang kami tempuh 12 jam karena harus transit dulu di Malaysia. Normalnya kalau perjalanan langsung tanpa transit adalah 8 jam. Ga apa-apa, namanya juga jalan-jalan, dibawa senang aja. CGK-KL-HND.

(waiting room in CGK)

Pernah sempat ada drama di bandara KL. Ketika sampai di KL, kami kelaparan karena dari pihak air asia nggak dikasih makan & minum (yaaa mungkin namanya juga tiket promo), tapi ada sih pramugari yang jualan di dalam pesawat, kami memilih bersabar untuk makan di bandara KL. Harga makanan dan minuman di dalam pesawat mahal :(
Selagi menunggu 2 jam untuk keberangkatan selanjutnya, kami shalat, makan, dan muter-muter ke toko-toko yang ada di KLIA 2. Karena keasikan muter-muter, akhirnya kami masuk ke dalam penumpang "Last Call" (3 penumpang terakhir). Jadilah kami lari-larian untuk mengejar waktu keberangkatan pesawat. Mama yang sudah tidak muda lagi masih sanggup untuk berlari kencang menuju gate, coba bayangkan gate tersebut dapat ditempuh 10 menit dengan berjalan kaki, tapi kami tempuh 4 menit dengan berlari. Hahahaha..... semoga tidak terulang lagi :D
Alhasil ngos-ngosan setibanya di pesawat!

(let's go...)

Tiba di Haneda jam 23.45 (tengah malam). Kami dijemput oleh bang Danil (sepupu yang kerja di Jepang).
(Haneda)

Tiba di apato (apartemen) abang jam 2 malam. Langsung shalat jama' takhir maghrib & isya, habis itu tidur pulas. Paginya, saya sudah janjian mau bertemu dengan sahabat saya sejak SMA. Dia lagi S2 di Jepang. Udah lamaaaa ga ketemu. Pagi itu suhu di Chiba sekitar 7 derajat celcius. Brrrr....

(psstt.. kanan masih single loh :D )

(tengah : married, kanan & kiri : available)

(kabut di pagi hari)

(masih ada rumah tradisional)

Siangnya, kami pergi dari Chiba menuju Shizouka (tempat otousan tinggal) diantar oleh bang Danil dan temannya. Shizouka ini dekat dengan gunung Fuji. Cuma sebentar ketemu sama sahabat saya karena doi ga bisa ikut ke Shizouka :(
Perjalanan memakan waktu +/- 4 jam. Sesekali berhenti di rest area.

(mesin untuk memesan makanan)

(soba, udon, dan ramen)

Bedanya soba, udon, dan ramen yaitu :
1. Ramen : ukuran mie nya kecil. Kuahnya biasanya pake campuran babi.
2. Soba : ukuran mie nya kecil. Kuahnya pake kaldu ikan.
3. Udon : ukuran mie nya besar-besar. Kuahnya pake kaldu ikan.
Jadi, kalau mau makan yang aman dan halal di Jepang, bisa pesan soba atau udon. Rasanya lumayan enak. Pas di perjalanan saya melihat tempat makan Yoshinoya. Ternyata info dari abang, Yoshinoya itu kalo di Jepang aslinya ibarat warteg kalo di Indonesia.

(gambaran sekeliling tempat makan di rest area)

(baju merah : blasteran Cina & Jepang. Umurnya 24 tahun)

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami pergi ke toilet dulu. Terus saya kaget sama toilet ala Jepang karena tinggal pencet-pencet aja, jadinya norak deh foto-foto di dalam toilet :p 


(serba otomatis)

(tempat cuci tangannya otomatis)

(nyobain beli minuman pake mesin)

Minuman yang di foto atas itu teh susu, merk Kirin. InsyaAllah sudah halal. Enaaakkk rasanya :9
Selama perjalanan ada juga loohh ternyata kemacetan di tol. Ga hanya di Indonesia aja berarti ya. Perjalanan dilanjutkan dengan sesekali berhenti di tengah jalan untuk menikmati gunung fuji dan laut.




(tempat parkirnya gratis)

(Gn. Fuji dari pinggir laut)

Rasanya udah ga sabat mau cepat sampai di rumah otousan :)
Oh ya pas keluar tol Shizouka, saya kaget karena biaya tolnya mihil bingit, yaitu kalo di rupiah-in sebesar 500.000. Ckckck memang ya biaya hidup di Jepang tinggi.

-bersambung-